Setelah baca-baca lagi
posting kemarin, malam ini aku jadi terpikir. Apa jadinya jika ia yang kusebut
teman membacanya? Akankah hatinya sedih? Apakah ia menyadari bahwa tulisan itu
tertuju padanya? Terlepas dari apa yang ia lakukan, aku jadi berpikir lagi.
Masih ada kemungkinan bahwa semua itu hanya kebetulan. Ia tidak benar-benar
sengaja menccariku disaat-saat terdesak saja.
Aku harusnya bersyukur,
setidaknya aku masih bisa berguna untuk sesama. Setidaknya, aku bisa
bercengkrama dengan ia yang sudah menemani masa-masa sekolahku dari putih merah
hingga ke putih abu.
Setidaknya, dalam 1 jam
kami bertemu, aku bisa sepenuhnya menjadi diriku sendiri. Aku bisa bebas
bercerita apapun yang tidak bisa kuceritakan pada siapapun. Aku bisa
menertawakan kehidupan tanpa merasa takut lawan bicaraku tersinggung. Kami
jarang saling memuji, tapi tidak pernah membiarkan satu sama lain terus menerus
melakukan hal yang salah. Kami jarang bertemu, tapi ketika berkumpul bersama
tidak pernah kehabisan bahan cerita. Aku baru menyadari bahwa dia adalah
satu-satunya teman yang kuanggap paling mengerti diriku. Ia orang yang tulus,
pandai bergaul tapi tidak lihai berpura-pura. Ia selalu tulus dimataku. Lantas,
apa yang meracuni pikiranku beberapa hari lalu?
Aku bukan tipe orang
yang cepat akrab dengan orang baru. Aku juga sulit untuk mengungkapkan perasaan
dengan benar. Aku selalu berhasil terlihat cuek dan selalu bias mengontrol
emosiku tanpa perlu berusaha keras. Didepan banyak orang. Yah, karena aku
memang tidak peduli.
Tapi kau tahu, aku
selalu berusaha sangat keras untuk
menyembunyikan kegelisahan didepan keluargaku, teman terdekatku, dan dia yang
kusebut mr. K. Aku lebih sering menumpahkan emosi didepan layar laptop dan
dalam malam-malam sunyi yang memaksa air mataku tumpah. Sendirian. Terkadang
aku menjadi lemah, rapuh, sensitif. Tapi sekali lagi, semua itu hanya kupendam
sendiri. Oh, kau tahu bagaimana menderitanya menjadi seorang introvert seperti
aku?
Dan malam ini, aku baru
menyadari betapa egoisnya aku pada temanku sendiri. Ia yang didepannya aku
selalu merasa nyaman. Aku bersalah karena menganggapnya egois. Padahal
kenyataannya, aku yang egois karena merasa telah terlalu baik padanya. Hah?