Saturday, February 11, 2023
Internship
Dinding putih, udara dingin, berbagai bau yang menyeruak, orang-orang yang berlalu lalang, suara brankar didorong. Ah, sudah hampir tiga bulan aku berada di rumah sakit ini. Tidak terasa, begitu kata orang.
Hari pertama, aku ditempatkan di bangsal. Bangsal kami terdiri dari dua lantai. Cukup melelahkan jika harus naik turun dengan tangga. Namun, seolah diminta betah, hari pertama kulewati dengan cukup mudah. Tak banyak yang mengeluh, pun tak ada hal gawat.
Hari-hari selanjutnya, aku terbiasa dengan berbagai kegawatan yang kutemui dari mereka yang tergolek sakit itu. Pernah sekali waktu, baru saja kumulai pergantian shift, aku dan seorang dokter definitif (dokter penanggung jawab ruangan) langsung dipanggil ke kamar salah satu pasien. Penurunan kesadaran dengan skala Glasgow Coma 3. Artinya, sang pasien tak merespon apapun terhadap rangsang baik verbal, taktil, maupun nyeri. Kuperiksa refleks cahaya di kedua bola matanya, masih ada rupanya. Mulutnya seperti mengeluarkan busa. Dari dalam kerongkongannya terdengar suara seperti orang berkumur-gargling, pertanda cairan mulai memenuhi saluran napasnya. Kuminta salah seorang perawat untuk mengambil suction-alat penghisap cairan untuk menyelamatkan jalan napasnya.
Aku kembali ke nurse station sembari membaca ulang catatan medik pasien tersebut, sembari menunggu suction sampai. Selang hitungan menit, keluarga pasien berlari menghampiri kami. Mendadak apneu--henti napas. Aku dan seorang dokter lainnya berlari ke kamar pasien tersebut seraya menginstruksikan untuk mengambil sungkup napas, bersiap untuk melakukan resusitasi jantung paru-RJP. Ku lihat tak ada napas spontan lagi, pun nadi carotis sudah tak teraba. Kulakukan RJP 2 siklus, epinefrin diinjeksikan, cek lagi nadi dan napas, nihil. Saturasi oksigen tak terdeteksi, kami bersiap EKG-rekam jantung untuk melihat apakah ada aktivitas kelistrikan di mesin pompa termahsyur buatan Tuhan yang maha dahsyat itu.
Masih asystole, kulakukan RJP bergantian dengan rekan dokterku saat itu hingga lima siklus. EKG ulang dan terekam gelombang lurus tanpa bukit-bukit kelistrikan lagi. Refleks cahaya sudah tak ada, pupil melebar maksimal. Pasien dinyatakan meninggal
Patah hati terberat adalah melihat respon keluarga pasien saat kami mengumumkan berita duka itu. Ada yang diam pasrah, ada yang mengamuk tak terima, ada yang hanya bisa meratap sambil memeluk jasad beku disampingnya. Aku tak sanggup berlama-lama disitu.
Di lain waktu, kala bertugas di IGD, pasien anak-anak datang dengan keluhan sesak dan batuk sudah beberapa hari. Setelah diusut, dalam tiga hari terakhir ia mengalami demam. Tampak tarikan dinding dada, artinya pernapasannya sudah sulit sehingga harus dibantu oleh otot-otot tambahan. Hasil rontgen menunjukkan bercak-bercak putih di kanan-kiri, pertanda infeksi pada jaringan paru. Tangannya diinfus, obat-obat diberikan untuk mengatasi infeksi. Ia juga dipasangkan selang oksigen. Saturasi mulai naik, pasien kemudia ditransfer ke bangsal untuk perawatan lebih lanjut. Selang beberapa hari, ia sudah boleh pulang karena menunjukkan perbaikan.
Pernah pula seorang ibu datang menjerit sambil menggendong anaknya. Rupanya ia kesakitan sekaligus panik karena sang anak mengalami kejang hingga menggigit tangan sang Ibu yang mencoba mencegahnya menggigit lidah sendiri. Tangan dan kakinya kencang dan kaku. Pasien langsung dilarikan ke ruang observasi dan diberikan obat melalui dubur. Selang beberapa menit, kulihat ia sudah menangis di pelukan ibunya, artinya si anak sudah sadar dan berhenti kejang.
Kelahiran, kematian, kesembuhan, perburukan, adalah hal yang lumrah ditemukan disini. Semua itu kuharap menjadi alasan agar aku lebih memaknai kehidupan berharga yang diberikan.
Sungguh, aku tak pernah menyesal memilih pekerjaan ini. Meski harus melewati tahapan sekolah yang panjang dan harus belajar lagi seumur hidup, tiap detiknya tak pernah kusesali.
Aku berterima kasih pada Tuhan yang memberiku kesempatan kedua, pun pada diriku sendiri yang menantang kemampuanku untuk pergi dari kehidupanku dulu sebagai mahasiswa Teknik.
"jangan jadi dokter yang sombong", sepenggal pesan Ayah yang selalu kuingat sampai kapanpun.
Ah, lagipula apa yang harus disombongkan? Hal yang terpenting adalah keberadaanku kuharap dapat memberi manfaat bagi mereka yang membutuhkan.
Labels:
#whatIfeel
Subscribe to:
Posts (Atom)