Planet X pertama kali dikemukakan Percival Lowell tahun 1902 sebagai planet hipotetik yang gravitasinya sanggup menyimpangkan (sedikit) pergerakan Neptunus dan Uranus dari lintasan idealnya. Planet X merupakan kelanjutan hipotesis John Couch Adams dan Urbain LeVerrier setengah abad sebelumnya, yang bekerja sendiri2 namun sama2 menyimpulkan adanya planet tak dikenal yang mengganggu orbit Uranus, yang berujung mengagumkan dengan penemuan Neptunus oleh Galle dan d’Arrest lewat mata tajam teleskop observatorium Berlin pada tahun 1846.
Terinspirasi sukses ini, setelah menganalisis penyimpangan gerak Merkurius serta Uranus dan Neptunus, Le Verrier meramalkan sedikitnya ada 2 planet lain yang masih “bersembunyi”, menunggu ditemukan. Yang pertama disebut planet transneptunik, yakni planet cukup massif yang letaknya lebih jauh dibanding Neptunus. Yang kedua adalah Vulkan, planet massif yang lebih dekat ke Matahari dibanding Merkurius.
Untuk planet trans neptunik, segera muncul ratusan proposal yang masing2 mencoba memprediksi lokasi planet tak dikenal itu. Dua yang populer diusulkan Lowell dan Pickering. Lowell dengan “Planet X” nya, sementara Pickering dengan tujuh planet hipotetiktrans-Neptuniknya, yang masing2 diberi nama planet O, P, Q, R, S, T dan U. Menariknya sifat2 Planet O hampir mirip dengan Planet X-nya Lowell. Cerita lengkap soal ini bisa anda baca di situs The Nine Planets pada artikel “Hypotethical Planets”. Singkatnya, dari saat Clyde W Tombaugh menemukan Pluto (1930) sampai Jewit dkk. menemukan asteroid transneptunik 1992 QB 1 (1992) tak ada satupun benda langit yang dapat dijadikan kandidat Planet X.
Pluto sendiri cukup mengecewakan, mengingat massanya “hanya” 1/400 massa Bumi, jauh dari cukup untuk menjadi Planet X / Planet O yang massanya diestimasikan sebesar 2 – 6 massa Bumi. Justru di kawasan yang semula diduga menjadi habitat Planet X ini ternyata menjadi tempat bercokolnya 1 – 10 milyar asteroid transneptunik yang membentuk cakram raksasa bernama Sabuk Kuiper, dengan dinamika dikontrol oleh kombinasi gravitasi Jupiter – Saturnus – Uranus – Neptunus. Asteroid-asteroid ini baru ditemukan sejak 1992 silam meski keberadannya sudah diramalkan Gerald P. Kuiper setengah abad sebelumnya. Lantas bagaimana dengan penyimpangan orbit Uranus dan Neptunus?
Hal ini diuji secara tak langsung oleh Voyager 2 ketika mengukur ulang massa planet Jupiter, Saturnus, Uranus dan Neptunus dengan akurasi sangat tinggi dalam Grand Tour 1979 – 1989. Ketika hasil pengukuran Voyager ini dimasukkan dalam hitungan Le Verrier, ternyata penyimpangan itu menghilang! Disini jelas bahwa ide akan Planet X dibangun dari deviasi standar statistika hasil pengukuran astronomi abad ke-19 yang tentu saja tingkat ketelitiannya tidak setinggi pengukuran saat ini. Mengenai Vulkan, problem itu sudah terjawab di tahun1916 ketika Einstein mengapungkan teori relativitas umum-nya yang menggemparkan. Menurut Einstein, salah satu konsekuensi dari membengkoknya ruang waktu disekitar benda massif seperti Matahari adalah terjadinya pergeseran permanen (presesi) terhadap titik perihelion Merkurius, yang mencapai 43 detik busur per abad. Presesi perihelion inilah yang teramati oleh Le Verrier, jauh hari sebelum Einstein lahir.
Planet Nibiru
Nibiru, menurut Landsberger dan K. Wilson merupakan titik tetap di langit atau bintang kutub. Zecharia Stichtin dan Burak Eldem, mengklaim Nibiru adalah catatan kuno Sumeria mengenai planet tak dikenal. Pada http://xfacts.com/ Nibiru disebutkan sebagai planet tempat berdiamnya Annunaki (dewanya orang Sumeria) yang mengorbit Matahari kita dalam 3.600 tahun. Namun klaim Stichtin tidak didukung fakta ilmiah astronomi dan arkeologi. Apalagi jika kemudian Nibiru dikait-kaitkan dengan Planet X, yang sudah kita ketahui sejauh ini memang tidak ada.
Lepas dari soal ada tidaknya Nibiru, ada beberapa hal dalam selebaran tersebut yang ternyata tidak menyebutkan siapa penulisnya, hanya tertulis dari aliflamra1711@gmail.com namun menarik untuk kita analisis.
Pertama, dikatakan planet Nibiru memiliki massa 100 kali massa Bumi kita, dengan diameter – merujuk pada grafis – menyamai Saturnus atau sebesar 120.000 km (sebagai pembanding, diameter Bumi kita “hanya” 12.756 km alias seper sepuluhnya saja). Bila kita anggap Nibiru berbentuk bulat, kita bisa memperkirakan densitasnya yang ternyata sebesar 0,66 gram/cc, alias lebih ringandari air (!). Adakah benda langit yang densitasnya mirip2 Nibiru? Ada, malah banyak! Asteroid-asteroid transneptunik penghuni Sabuk Kuiper dan kometisimal2 ‘penduduk’ Awan Komet Oort juga memiliki densitas kurang dari 1 gram/cc. Analisis spektroskopi menunjukkan hal ini disebabkan oleh komposisi penyusun benda2 langit itu didominasi oleh materi-materi ringan seperti senyawa karbon dan debu-debu silikat berselubung es, dengan permukaan gelap dan memadat akibat terjangan radiasi sinar kosmis.
Anggaplah Nibiru beredar mengelilingi Matahari kita dalam 3.600 tahun sekali. Dengan Hukum Kepler 3, kita bisa mengetahui jarak (rata2) orbitnya terhadap Matahari adalah 235 AU alias 35,25 milyar km. Orbit ini sudah berada di luar cakram Sabuk Kuiper (yang radius maksimalnya ‘hanya’ 7 milyar km dari Matahari) dan kemungkinan besar sudah masuk ke dalam kawasanhunian Awan Komet Oort bagian dalam. Berdasarkan jarak orbit dan densitasnya, kita bisa saja mengatakan Nibiru adalah bagian dari Awan Komet Oort.
Dengan permukaan yang menggelap dan memadat akibat tekanan radiasi sinar kosmis, bisa saja kita katakan Nibiru sulit dideteksi. Namun harus diingat, diameter sebuah benda langit berhubungan erat dengan magnitude-nya dan nanti akan kita lihat betapa klaim “Nibiru yang redup” ini tidak memiliki basis argumen. Yang melemahkan adalah diameternya. Dengan jarak rata2 235 – 1 = 234 AU atau 35,1 milyar km dari Bumi kita, benda langit yang diameternya 120.000 km itu seharusnya nampak sebagai titik cahaya dengan diameter 0,0034 mili radian atau 0,7 detik busur. Mata manusia (tanpa alat optik) memang takkan bisa melihat titik cahaya ini, mengingat batas resolusinya adalah 0,15 mili radian atau 31 detik busur. Namun dengan teleskop sederhana pun sebenarnya titik cahaya ini sudah nampak. Jika kita murni bertumpu pada kriteria Rayleigh, maka teleskop dengan lensa/cermin berdiameter minimal 30 cm yang bekerja pada spektrum panjang gelombang 7.000 Angstrom sudah cukup mudah mendeteksi titik cahaya ini, apalagi teleskop2 raksasa yang ada di Hawaii, Gunung Wilson maupun HST.
Sebagai pembanding, Pluto saja (diameter 2.274 km), yang dari Bumi nampak sebagai titik cahaya berdiameter 0,0004 miliradian alias 1/10 diameter titik cahaya Nibiru, sudah muncul dalam potret2 yang dibuat Lowell dari observatorium pribadinya di Flagstaff pada 1915, meski baru bisa diidentifikasi Tombaugh 12 tahun kemudian. Pluto nampak sebagai titik cahaya dengan magnitude +15. Logikanya, jika teknologi 1915 – 1930 saja sudah mampu membidik Pluto, tentunya untuk melacak Nibiru bukan persoalan sulit, kalo planet ini memang ada. Apalagi bisa diestimasikan Nibiru lebih cemerlang (magnitude-nya lebih kecil) dari Pluto karena diameternya jauh lebih besar.
Kedua, dikatakan gerakan planet Nibiru menuju ke tata surya bagian dalam. Jika dilihat grafis perbandingan orbit planet2 dan planet X, terkesan orbit Planet X/Nibiru berbentuk sangat lonjong alias memiliki eksentrisitas besar. Kita tahu bahwa orbit semacam ini adalah ciri khas orbit komet, dan kita juga sudah tahu dari jarak orbitnya Nibiru berada di region Awan Komet Oort, sumber komet2 berperiode panjang (> 200 tahun), komet parabolik dan hiperbolik. Komet2 periodik dari Awan Komet Oort memiliki ciri khas: eksentrisitas rata2 0,7 dan inklinasi 35 derajat. Karena eksentrisitas (e) orbit benda langit bergantung pada jarak Perihelion (P) dan Aphelion (A) nya lewat formula: (A – P)/(A + P) = e, untuk e = 0,7 kita dapatkan rasio A/P = 5,7. Karena jarak rata2 orbit planet (R) berhubungan dengan Aphelion dan Perihelionnya dalam formula – secara kasar – : 2R = A+ P, untuk e = 0,7 tadi kita dapatkan P = 70,1 AU. Ini masih sangat jauh dari Bumi kita (yang jaraknya 1 AU dari Matahari), bahkan masih lebih jauh dibanding Pluto, sehingga peluang Bumi dan Nibiru untuk berbenturan adalah nol. Bisa saja kita anggap Perihelion Nibiru Bisa saja kita anggap Perihelion Nibiru.
Ketiga, pada halaman dari artikel itu diberi judul “IRAS” dengan potongan artikel koran berjudul “Mystery Heavenly Body Found by Orbiting Infrared Telescope”. Namun penjelasan di halaman tersebut sama sekali tidak menyinggung apa itu IRAS. Paralel dengan isu Nibiru, di dunia astronomi pernah muncul hipotesis Nemesis, yakni bintang pasangan Matahari yang sangat redup (kemungkinan berupa cebol putih atau cebol coklat) yang bergerak mengelilingi Matahari dalam orbit elliptikal dengan Perihelion 20.000 AU, Aphelion 90.000 AU dan periode orbit 30juta tahun. Sehingga Matahari-Nemesis adalah sistem bintang kembar dengan pasangannya sangat redup hingga tak terlihat. Ini mengingatkan kita pada sistem sejenis di Cygnus X-1, dimana pasangannya juga tak nampak (dan kini diidentifikasi sebagai lubang hitam). Hipotesis Nemesis dibangun oleh geolog Daniel P. Whitmire dan John J. Matesse (1985) sebagai solusi bagi terjadinya peristiwa pemusnahan massal akibat hantaman komet ke Bumi yang selalu berulang setiap 30 juta tahun seperti yang direkam di lapisan2 sedimen.
Ini sejalan dengan gagasan Rampino, Stothers (1984) dan sang legenda: Carl Sagan (1985) yang juga berpendapat serupa lewat Hipotesis Shiva-nya, meski perulangan itu dikatakan terjadi tiap 35 juta tahun. Dengan gagasannya Whitmire dan Matessse membayangkan tiap 30 juta tahun sekali Nemesis melintas di dekat Awan Komet Oort dan gravitasinya membuat awan kometini sangat bergejolak hingga melepaskan ribuan kometisimal yang selanjutnya melesat ke tata surya bagian dalam akibat kombinasi gravitasi Nemesis dan Jupiter. Beberapa dari komet itu ‘mampir’ ke Bumi dan menimbulkan benturan hebat yang memusnahkan kehidupan secara massal. Sayangnya, ketika satelit IRAS (Infra Red Astronomical Satellite) diluncurkan awal 1980-an dan memetakan jagat raya pada spektrum sinar inframerah, Nemesis ternyata tidak pernah ditemukan.
Meski Nemesis dianggap sebagai bintang yang sangat redup, logikanya, karena masih membakar Hidrogen di terasnya, ia tetap memancarkan sinar inframerah yang kuat sebagaimana bintang2 cebol lainnya. Justru IRAS menemukan komet IRAS-Iraki-Alcox, komet redup yang melintas sejauh 5 juta km saja dari Bumi, komet terdekat selama ini. IRAS juga menemukan 3200 Phaethon, benda langit mirip asteroid namun menyemprotkan partikel2 dari permukaannya dengan bentuk mirip ekor komet dan dipastikan merupakan sumber dari hujan meteor (shower) Geminids yang terjadi tiap awal Desember. So, IRAS juga tidak pernah menyimpulkan telah ditemukan benda langit dengan ciri2 seperti Nibiru.
Nibiru dan Kiamat
Dari uraian tadi bisa disimpulkan, Nibiru tidak ada. Kalaupun planet itu ada, dengan sifat2 fisik dan orbitnya, peluangnya untuk masuk ke tata surya bagian dalam ataupun berbenturan dengan Bumi adalah nol. Meski begitu, saya merasa pembuat Selebaran Kiamat ini di sisi lain sedang mengingatkan kita betapa terbukanya potensi benturan Bumi dengan benda2 langit dari Awan Komet Oort maupun Sabuk Kuiper (baca: komet), meski Bumi sudah ditamengi Jupiter dan Bulan. Merujuk betapa banyaknya jejak kawah tumbukan di wajah Bulan, Barbara Cohen dan David Kring (2002) menyimpulkan Bumi pernah dihajar jutaan bolide sekitar 2,8 milyar tahun silampada peristiwa Late Heavy Bombardment. Hajaran itu membentuk sedikitnya 22.000 kawah tumbukan berdiameter lebih dari 20 km, dengan 40 kawah diantaranya benar2 berukuran raksasa dan layak disebut basin, mengingat diameternya lebih dari 1.000 km. Kini tak satupun darikawah2 itu yang tersisa, mengingat aktifnya dinamika permukaan Bumi oleh proses erosi dan gerakan lempeng2 tektonik.
Dua kawah tertua yang ada, masing2 Vredefort (Afrika Selatan, diameter 300 km) dan Sudbury (Canada, diameter 250 km) berasal dari masa yang lebih muda (2 milyar tahun silam). Andai hipotesis Shiva benar, jika kita menghitung balik dari dua peristiwa tumbukan benda langit terdahsyat terakhir, yakni peristiwa 65 juta tahun silam (musnahnya Dinosaurus, ditandai dengan terbentuknya Kawah raksasa Chicxulub) dan 35 juta tahun silam (terbentuknya Kawah Popigai di Russia, diameter 100 km, dan Kawah Chesapeake Bay di New YorkCity, diameter 95 km), nampaknya siklus bencana 30-35 juta tahun akan terulang lagi di masa kini, periode dimana manusia hidup. Berkait tumbukan ini, menarik sekali bahwa di region Asia Tenggara, sebagian Australia, Taiwan, China dan P. Madagaskar, bahkan ada juga yang mengatakan hinggake Eropa Tengah dan Texas, telah ditemukan tektit, yakni butir2 batuan beku khas produk tumbukan benda langit. Di Indonesia tektit ini bisa ditemukan di Jawa (terutama di Sangiran), Belitung, Kalimantan dan Ambon. Tektit yang disebut tektit austral-asia ini terjepit di sedimen berumur pleistosen tengah atau dari masa 0,77 juta tahun silam.
Di dalam tektit ini ditemukan pula mineral coesite, sejenis kuarsa yang termetamorfosis oleh tekanan luar biasa besar (200ribu ton per meter persegi!), yang secara alami hanya diproduksi oleh tumbukan benda langit. Jelas bahwa sebaran tektit austral-asia berasal dari tumbukan benda langit pada 0,77 juta tahun silam. Melihat betapa luas sebarannya, Edward Chao – yang bersama empat serangkai: Eugene Shoemaker (alm), Nicholas M. Short, B.M. French dan W von Engelhardt menjadi pionir penyelidikan dan pembuktian tumbukan benda langit di dekade 1960an – menyebut tektit itu bisa disamakan dengan sebaran global lempung hitam tipis yang terjepit di antara sedimen zaman Kapur danTersier. Lempung hitam ini jadi demikian populer karena amat kaya dengan iridium dan jadi salah satu penanda terjadinya tumbukan dahsyat 65 juta tahun silam, yang membentuk Kawah raksasa Chicxulub sembari mengiamatkan 75% populasi makhluk hidup saat itu. Maka skala tumbukan yang membentuk tektit austral-asiapun menyamai dahsyatnya pembentukan Kawah Chicxulub.
Hampir semua paper yang mengupas genesis tektitaustral-asia menyebut kawasan Asia Tenggara merupakan titik permukaan Bumi yang dihantam bolide pada 0,77 juta tahun silam itu. Menariknya, survey di Laut Cina Selatan selama 1 dekade (1989 – 1999) menggunakan satelit GEOSAT dan SEASAT berhasil mendeteksi sebuah struktur sirkular raksasa berdiameter 100 km di 13° 36′ LU 110° 30′ BT. Meski belum diteliti lebih lanjut (karena untuk itu perlu dibor dan dicek tipe batuannya) diduga kuat inilah kawah raksasa itu. Satu hal yang harus diingat, meski (anggaplah) tumbukan versi hipotesis Shiva itu sudah terjadi 0,77 juta tahun silam, dalam sejarahnya jarang sekali dijumpai tumbukan benda langit (terutama yang membentuk kawah2 raksasa) dari bolide tunggal, kebanyakan dihasilkan oleh beragam bolide yang datang secara berentetan selama 1-2 juta tahun (rentang waktu yang tergolong pendek dalam skala waktu geologi). Pola khas ini nampak dari terbentuknya kawah Chicxulub yang segera diikuti dengan pembentukan 7 buah kawah tumbukan lain, masing2 Eagle Butte (Canada), Gusev (Russia), Belize (Meksiko), Alvaro Obregon (Meksiko), Haiti (Laut Karibia), Silverpit (lepas pantai Inggris) dan sau kawah tak bernama di dasar Samudera Pasifik.
Begitu pula terbentuknya Popigai, yang langsung disusul dengan munculnya kawah Chesapeake Bay (AS) dan struktur Fohn di celah Timor. Dan kawah di Laut Cina Selatan ini? Memang sebelumnya telah terbentuk kawah Zhamanshin (Kazakhstan, diameter 14 km, 0,9 juta tahun silam), Bosumtwi (Ghana, diameter 10,5 km, 1,1 juta tahun silam), Eltanin (Laut Bellingshausen, diameter 40 km, 2,15 juta tahun silam) dan Kara-Kul (Tajikistan, diameter 50 km, 3 juta tahun silam). Namun kita tidak pernah tahu apakah kawah di Laut Cina Selatan tadi merupakan “penutup” rangkaian tumbukan itu atau hanya bagian dari sejarah mencekam yang sedang bergulir sampai detik ini. Ketiadaan bukti belum merupakan bukti dari ketiadaan Planet X ini. Pencarian terhadap Planet X tidak begitu saja berhenti di sini. Siapa tahu suatu saat memang betul2 ada…??? Wallahu a’lam bissawab…
0 comments:
Post a Comment
komen